Alternatif penyelesaian sengketa usaha sering menjadi hal yang didahulukan. Alternatif ini mengacu pada tindakan-tindakan non-litigasi yang diupayakan untuk mengatasi perselisihan.
Sebelum memasuki proses peradilan, pihak yang bersengketa biasanya dianjurkan untuk menempuh terlebih dahulu proses non-litigasi.
Selain arbitrase yang memiliki putusan yang bersifat final, pihak yang bersengketa juga dapat menempuh jalur yang lebih mudah dengan mengupayakan mediasi dan konsiliasi.
Berbeda dengan negosiasi maupun konsultasi yang dilakukan antar pihak – mediasi dan konsiliasi melibatkan pihak lain sebagai penengah. Berbeda pula dengan arbitrase – mediasi dan konsiliasi tidak memutus permasalahan.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1/2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediasi didefenisikan sebagai cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Peran mediator disini lebih pasif, ia membantu tiap pihak mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Mediator tidak memutus atau memaksakan pandangan atau penilaian atas masalah-masalah selama proses mediasi berlangsung.
Yang menjadi mediator adalah mereka yang memiliki sertifikat mediator dari pelatihan sertifikasi Mahkamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi darinya. Jika ada keterbatasan jumlah mediator bersertifikat, hakim yang tidak bersertifikat juga dapat menjalankan fungsi mediator dengan dituangkan dalam surat keputusan ketua Pengadilan.
Sementara itu konsiliasi memang disebut dalam Pasal 1 angka 10 UU No 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, namun penjelasan lebih lanjutnya tidak diuraikan di dalamnya.
Regulasi yang lebih jelas untuk contoh praktik konsiliasi dapat dilihat dalam permasalahan spesifik terkait hubungan industrial yang diatur dalam UU No 2/2004.
Dalam undang-undang tersebut, konsiliasi hubungan industrial didefenisikan sebagai penyelesaian perselisihan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
Kita dapat melihat bahwa secara umum konsiliasi memang mirip dengan mediasi, hanya saja peran konsiliator lebih aktif. Konsiliator dapat menyampaikan pendapat tentang duduk persoalan, memberi saran terkait keuntungan dan kerugian tiap pihak serta mengupayakan tercapainya kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa.
Jika mediasi atau konsiliasi mencapai kesepakatan antar pihak yang bersengketa, maka kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk tertulis.
Pada mediasi kesepakatan itu wujudnya ada pada kesepakatan damai yang kemudian diajukan oleh mediator untuk dikuatkan menjadi akta perdamaian kepada hakim pemeriksa perkara. Sementara pada konsiliasi itu diwujudkan dalam perjanjian bersama yang kemudian didaftarkan di pengadilan.
Sebaliknya, jika tidak tercapai kesepakatan, mediator hanya melaporkannya ke hakim dan bisa menyatakan salah satu atau para pihak yang tidak beritikad baik.
Sementara konsiliator akan merekomendasikan anjuran tertulis. Jika anjuran itu ditolak oleh salah satu atau para pihak, perselisihan dapat dilanjutkan ke pengadilan.
Img: Istimewa